
Zaman sekarang, siapa sih yang nggak tergoda buat buka toko online? Apalagi lihat teman jualan di Shopee, Tokopedia, Instagram, bahkan cuma lewat WhatsApp bisa dapat jutaan per bulan. Tapi, tunggu dulu… membuka toko online itu bukan cuma soal upload produk dan nunggu pembeli datang. Banyak banget yang gagal di awal karena bikin kesalahan saat membuka toko online yang sepele tapi dampaknya besar.
Artikel ini akan membahas kesalahan saat membuka toko online, disertai contoh nyata, dan tentu saja solusi praktis biar kamu bisa langsung perbaiki atau hindari sejak awal. Yuk kita bahas satu per satu!
1. Tidak Melakukan Riset Pasar Terlebih Dahulu
Kenapa Ini Jadi Masalah?
Banyak orang langsung jualan barang karena ikut-ikutan tren atau karena mikir “kayaknya laku deh”. Padahal, belum tentu barang itu ada demand-nya di target market kamu. Misalnya, kamu jualan hijab premium seharga Rp300 ribu di lingkungan kampus yang daya belinya pas-pasan.
Contoh Nyata:
Dina, mahasiswa yang buka toko online di Instagram, jualan skincare Korea. Dia belanja stok banyak karena ngikutin influencer. Tapi ternyata, followers-nya kebanyakan cowok dan belum tentu butuh skincare. Alhasil, stok numpuk dan nggak laku.
Solusi:
- Gunakan tools gratis seperti Google Trends, Shopee Keyword Tool, atau riset di forum kayak Kaskus atau Quora.
- Coba tanya ke 10–20 orang di sekitar kamu: “Kalau aku jual barang ini, kamu tertarik beli nggak?”
- Pantau produk terlaris di marketplace.
2. Tidak Fokus pada Satu Niche
Kenapa Ini Sering Dianggap Remeh?
Banyak toko online yang jualan semua hal: baju, makanan, aksesoris, skincare, bahkan buku — semua dicampur. Akhirnya, branding jadi kacau dan pelanggan bingung kamu spesialis di bidang apa.
Contoh Nyata:
Toko “ABC Store” di Tokopedia awalnya jualan peralatan dapur, tapi karena pengen cepat kaya, dia tambah kategori barang elektronik dan baju bayi. Dalam 6 bulan, pelanggan setia kabur karena merasa toko ini nggak konsisten.
Solusi:
- Pilih satu niche dulu yang kamu kuasai dan minati.
- Bangun branding toko berdasarkan niche itu.
- Setelah kuat, baru bisa ekspansi ke produk lain yang masih nyambung.
3. Asal-Asalan Foto Produk
Masih Ada yang Pakai Foto Google?
Percaya nggak, banyak toko online masih pakai foto dari Google, foto blur, atau malah watermark toko lain. Ini bisa turunin kepercayaan pembeli secara drastis.
Contoh Nyata:
Di Shopee, banyak toko yang jual casing HP dengan gambar yang sama. Tapi toko yang laris biasanya pakai foto real pict dari kameranya sendiri — bahkan yang pakai HP murah pun kelihatan lebih terpercaya.
Solusi:
- Gunakan cahaya natural (misal dekat jendela).
- Foto dari beberapa angle: depan, samping, detail.
- Pakai background putih polos atau kreatif (misal kertas karton).
- Edit sedikit pakai aplikasi gratis seperti Snapseed atau Canva.
4. Tidak Menyediakan Deskripsi Produk yang Jelas
Deskripsi Itu Bukan Tempat Curhat
Deskripsi produk bukan sekadar “barang bagus dijamin puas”. Itu terlalu umum. Pembeli butuh detail teknis, manfaat, cara pakai, dan kadang juga info perawatan.
Contoh Nyata:
Bayu jualan kaos polos di website sendiri. Dia cuma tulis: “Kaos bahan adem, cocok buat sehari-hari.” Tapi kompetitornya menulis: “Kaos cotton combed 30s, jahitan rantai, tidak mudah melar. Ukuran S-XXL tersedia. Cocok untuk daily wear dan kaos sablon.”
Tebak siapa yang lebih dipercaya?
Solusi:
- Tulis bahan, ukuran, warna, berat, dan spesifikasi.
- Jelaskan manfaat atau keunggulannya.
- Gunakan bullet point biar mudah dibaca.
5. Tidak Membangun Kepercayaan Pembeli
Mau Laku Tapi Nggak Mau Tunjukin Testimoni?
Banyak toko baru yang berharap langsung rame, tapi nggak nyiapin bukti sosial: testimoni, review, atau informasi kontak yang jelas.
Contoh Nyata:
Seorang seller baru di Instagram tidak mencantumkan alamat, tidak menampilkan testimoni, dan tidak ada highlight info produk. Akibatnya, banyak calon pembeli DM cuma buat nanya, tapi akhirnya nggak jadi beli karena takut kena tipu.
Solusi:
- Minta testimoni dari pembeli awal atau teman.
- Upload review di highlight IG atau bagian testimonial di website.
- Tampilkan info kontak dan lokasi (kalau ada).
6. Tidak Menggunakan Strategi Promosi yang Efektif
Upload Produk Aja Gak Cukup
Tanpa promosi, produk kamu cuma akan tenggelam di lautan e-commerce. Jangan cuma nunggu “rejeki nomplok”. Kamu perlu aktif promosi.
Contoh Nyata:
Fika jualan tas handmade di Shopee dan Instagram. Awalnya sepi banget. Tapi setelah ikut flash sale Shopee dan kolaborasi bareng micro influencer lokal, order naik 4 kali lipat.
Solusi:
- Manfaatkan fitur gratis di Shopee: flash sale, diskon toko, voucher, dll.
- Kolaborasi dengan influencer kecil tapi sesuai niche.
- Buat konten edukatif di IG/FB/TikTok yang nyambung dengan produk.
7. Gagal Menentukan Harga yang Kompetitif
Harga Murah = Rugi. Harga Mahal = Gak Laku.
Banyak yang belum ngerti cara menghitung harga jual. Akibatnya, ada yang jual terlalu murah (rugi terus), atau terlalu mahal (gak ada yang beli).
Contoh Nyata:
Andi jualan kue kering. Dia tentuin harga cuma dari feeling: “Kayaknya Rp50 ribu udah cukup deh.” Ternyata, setelah dihitung ulang, dia rugi Rp7 ribu per kotak.
Solusi:
Gunakan rumus dasar:
javaSalinEditHarga Jual = (Biaya Produksi + Biaya Operasional + Margin Laba) x Persentase Fee Platform
Lalu bandingkan dengan harga pasar. Jangan asal banting harga kalau belum punya strategi jangka panjang.
8. Tidak Membangun Database Pelanggan
Semua Fokus ke Followers. Padahal, Data Lebih Penting
Punya 10.000 followers tapi nggak punya data pelanggan = bahaya. Kenapa? Karena sewaktu-waktu akun bisa kena banned atau reach drop drastis.
Contoh Nyata:
Toko fashion di Instagram kena suspend. Followers hilang semua, dan mereka nggak punya database pelanggan. Akhirnya harus mulai dari nol lagi.
Solusi:
- Gunakan form Google, WhatsApp, atau tools seperti Google Sheets untuk simpan nama, nomor HP, dan email pelanggan.
- Kirim promo lewat broadcast WA, email marketing, atau Telegram.
9. Tidak Konsisten Update Produk dan Interaksi
Konsisten Itu Kunci
Kalau kamu posting cuma seminggu sekali, jangan harap toko bisa berkembang. Algoritma media sosial dan marketplace suka yang aktif.
Contoh Nyata:
Toko A dan B sama-sama jualan cemilan. Toko A update tiap hari, aktif story, bales chat cepat. Toko B pasif, jarang update. Walau sama-sama jual produk enak, toko A lebih dipercaya.
Solusi:
- Buat jadwal posting mingguan.
- Minimal upload story setiap hari.
- Respon chat secepat mungkin (gunakan fitur auto-reply kalau perlu).
10. Tidak Memikirkan Pengalaman Pelanggan
Jualan Bukan Cuma Ngirim Barang
Kalau packaging kamu asal-asalan, telat kirim, atau bales chatnya cuek, pembeli nggak akan balik lagi.
Contoh Nyata:
Toko online “X” jual kopi lokal. Kopinya enak, tapi packaging-nya pakai plastik kresek, tanpa bubble wrap, dan sering telat kirim. Akhirnya pembeli pindah ke kompetitor yang lebih rapi dan responsif.
Solusi:
- Investasi sedikit untuk packaging yang aman dan menarik.
- Kirim tepat waktu sesuai estimasi.
- Berikan bonus kecil seperti stiker, thank you card, atau voucher diskon pembelian berikutnya.
Baca Juga: Skill Digital yang Harus Dimiliki di Era AI
Kesimpulan: Jangan Buru-Buru, Tapi Jangan Nunggu Terlalu Lama
Membuka toko online bisa jadi peluang besar kalau dilakukan dengan benar. Tapi kalau kamu tergesa-gesa tanpa riset dan strategi, hasilnya bisa mengecewakan. Hindari kesalahan saat membuka toko online yang umum di atas, dan ingat: jualannya online, tapi layanannya tetap harus manusiawi dan profesional.
Bangun dari dasar yang kuat, konsisten, dan terus belajar. Karena yang bertahan bukan yang paling cepat, tapi yang paling siap.
Bonus: Checklist Singkat Sebelum Buka Toko Online
- Sudah riset produk dan pasar
- Punya foto produk sendiri
- Deskripsi lengkap dan jelas
- Sudah uji coba harga
- Siapkan strategi promosi
- Bangun kepercayaan dan testimoni
- Kumpulkan database pelanggan
- Konsisten posting dan responsif
- Pikirkan packaging dan pelayanan
Jika kamu merasa artikel ini bermanfaat, jangan lupa bagikan ke teman, saudara, atau rekan kerja yang sedang atau akan buka toko online. Karena berbagi ilmu itu gratis, tapi dampaknya bisa luar biasa!